Sejarah Ambarawa
Barangkali warga Ambarawa sendiri tak banyak yang tahu bahwa Kiai Lembah yang bernama asli Yasir Rahmatullah, putra Kiai Muhammad Basyar dari Wanasalam, kawasan pantai utara, adalah cikal bakal atau pendiri Kota Ambarawa.
Makamnya terletak di desa Kepatihan, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Ambarawa.
Nama kota Ambarawa, dalam satu versi berasal dari kata Lembah dan Rawa. Kata Lembah diambil dari nama Kiai Lembah, sedangkan kata Rawa merupakan nama kawasan perairan di Ambarawa yang bernama Rawa Bening (Rawa Pening). Lidah masyarakat dahulu terbiasa menyebut tempat Kiai Lembah bersemadi dan bermunajat kepada Allah SWT dengan kata Mbahrawa, akhirnya berkembang menjadi Ambarawa.
Dalam versi lain, kata Ambarawa didapat dari kata Amba yang berarti luas, dan Rawa, artinya daerah yang memiliki rawa yang luas.
Kaburnya sejarah Ambarawa disebabkan masih bercampurnya kisah-kisah sejarah dengan cerita legenda yang sering dituturkan orang tua secara lisan (oral tradition/oral history). Penuturan secara lisan tersebut mengakibatkan seseorang kesulitan membedakan antara kisah fiktif berbumbu peristiwa yang kadang irasional dengan kenyataan yang sebenarnya.
Apalagi, dalam kisah legenda Ambarawa yang lebih dikenal dengan legenda Baru Klinting, tidak pernah disebutkan seorang tokoh bernama Kiai Lembah (Yasir Rahmatullah) maupun istrinya Nyai Lembah (Nyai Siti Aminah).
Tokoh sentral dalam legenda Baru Klinting yang lebih ditonjolkan justru seorang anak kecil berperut busung berkepala gundul yang merupakan jelmaan seekor ular bernama Baru Klinting, dan sosok Mbok Randha Dadhapan.
Dalam lingkup sejarah Kota Ambarawa yang dituturkan secara lisan, cerita yang bersifat irasional masih sangat kental. Hal ini tampak pada kisah bertemunya Nyai Siti Aminah (Istri Kiai Lembah) dengan seorang pemuda gagah bernama Bra Klinting atau Baru Klinting.
Baru Klinting yang semula berwujud ular adalah putra Ki Ajar Selokantoro dari Gedhong Sanga (Candi Gedhong Sanga).
Dia membuat gara-gara dengan menancapkan sebatang lidi di keramaian (wayangan) untuk disayembarakan. Namun tak satu pun mampu mencabut lidi tersebut kecuali dia sendiri.
Singkat cerita, bekas lidi tersebut kemudian keluar air bah yang menenggelamkan warga. Adapun Nyai Lembah bersama Baru Klinting menyelamatkan diri naik lesung sampai Tlatah Glagahwangi (Kompleks Masjid Agung Demak).
Berziarah
Berziarah ke makam para leluhur atau orang tua telah menjadi sebagian kebiasaan warga Ambarawa, Kabupaten Semarang. Waktu-waktu yang biasa digunakan untuk berziarah adalah hari Kamis malam Jumat. Berziarah ke makam selain bertujuan untuk ’’menghadiahi’’ surat Yasin, tahlil, memanjatkan doa bagi arwah leluhur yang telah mendahului.
Selain dilakukan pada hari biasa (Kamis), ziarah ke makam juga dilakukan pada bulan Rajab dan Sya’ban. Pada bulan Rajab ada tradisi nyadran berupa kegiatan bersedekah, makan bersama, dan bersih-bersih di makam dalam rangka pudunan, artinya turunnya amal-amal manusia.
Adapun pada bulan Sya’ban juga terdapat kegiatan nyadran dalam rangka punggahan, artinya naiknya amal-amal manusia. Berziarah ke makam juga dilakukan pada awal Ramadan dan Syawal.
Kebiasaan berziarah ke makam yang kemudian menjadi mengakar suatu tradisi sesungguhnya menunjukkan satu kesalehan sosial masyarakat. Kegiatan tersebut merupakan wujud bakti seorang anak kepada orang tuanya.
Dengan demikian, tentu sudah selayaknyalah kita mau menyisihkan waktu untuk berziarah ke Makam Kiai Lembah sebagai wujud hormat masyarakat kepada pendirinya, paling tidak dalam momentum Hari Raya Idul Fitri.
Wujud penghormatan tersebut selain menengok dan merawat makam, lebih penting adalah upaya pemberian batasan yang jelas antara legenda dengan kisah sejarah agar generasi mendatang warga Kota Ambarawa mengetahui sejarah yang benar, sekaligus mempunyai keterampilan bertutur yang menjadi salah warisan budaya gemar bercerita dan ’’bermain’’ di ranah sastra.
Sejarah yang benar dalam hal ini adalah kisah Mbah Kiai Lembah, dan keterampilan bertutur yang dimaksud adalah cerita legenda Baru Klinting. Dengan mengetahui fungsi masing-masing kisah, kedua kisah tersebut bisa saling menopang pengetahuan masyarakat tanpa harus menghilangkan salah satu dari keduanya.
Apalagi, masyarakat bisa merunut sendiri kisah sejarah kota Ambarawa melalui situs dan peninggalan berupa Makam Kiai Lembah di Kepatihan, Ambarawa, dan Makam Nyai Lembah di kompleks Pemakaman Sentoro Ratu, Kauman, Demak. []
_____________________________________
Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Merdeka
Kota yang masuk dalam wilayah Kabupaten Semarang ini memiliki jejak sejarah yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena nilai perjuangan yang terkandung didalamnya.
Dikesejukan udaranya, para pecinta sejarah bisa menemukan jejak-jejak kepahlawanan melalui Monumen Palagan Ambarawa atau cikal-bakal dunia transportasi kereta api tanah air di Museum Kereta Api.
Museum Kereta Api Ambarawa
Museum Kereta Api Ambarawa merupakan satu-satunya museum kereta api di Indonesia. Keberadaannya tidak lepas dari sejarah perjuangan bangsa. Kota Ambarawa sejak jaman kolonial Hindia-Belanda dijadikan sebagai daerah militer sehingga untuk memudahkan pengangkutan pasukannya, raja Willem I mendirikan stasiun kereta api di kota ini pada tanggal 21 Mei 1873 dalam areal seluas 127.500 m2 dan diberi nama Willem I, sesuai pendirinya.
Setelah kemerdekaan, stasiun ini masih digunakan oleh bangsa Indonesia. Namun seiring perkembangan jaman, stasiun Ambarawa akhirnya tidak lagi beroperasi sejak tahun 1976. Namun tidak lama kemudian, atas inisiatif Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu, almarhum Soepardjo Rustam dan Kepala PJKA Eksploatasi, Soeharso, stasiun Ambarawa dijadikan sebagai museum Kereta Api dengan koleksi awal 21 buah lokomotif yang ikut berjasa dalam pertempuran, khususnya membawa Tentara Indonesia.
Koleksi Museum Ambarawa
Di antara 21 buah lokomotif yang ada, 4 diantaranya memiliki catatan istimewa. Misalnya saja loko C.1140 buatan pabrik Henssel/Sasshel tahun 1891 yang menjadi lokomotif tertua dengan kecepatan 50 km/jam. Ada juga lokomotif terlambat dan terpendek ukurannya yakni loko B.2014.
Sementara loko tercepat adalah C.2821 buatan tahun 1921 dengan kecepatan 90 km/jam atau setara dengan 1050 tenaga kuda. Untuk loko terbaru dengan bobot terberat adalah C.5028. Selain lokomotif, museum ini juga masih menyimpan beberapa peralatan komunikasi kuno, seperti pesawat telepon, pesawat telegram morse, meja-kursi antik, genta penjaga dan wesel.
Museum ini juga menawarkan kegiatan wisata dengan menggunakan kereta api bergigi tarik dari Ambarawa-Bedono. Jarak perjalanan sejauh 9 km bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam dengan tarif charter Rp. 3.250.000,- dengan kapasitas 90 tempat duduk. Biasanya yang ikut tur ini adalah rombongan. Jika ingin lebih murah gunakan saja lori motor dengan rute Ambarawa-Jambu yang jaraknya hanya 5 km namun butuh waktu 1 jam menjalaninya.
Museum Kereta Api ini ramai dikunjungi anak sekolah pada hari libur. Mereka biasanya datang berombongan. Turis asing, terutama dari Belanda dan Belgia termasuk pengunjung rutin museum Ambarawa. Hanya saja tingginya animo pengunjung tidak dibarengi dengan upaya perawatan dan pemeliharaan yang semestinya. Museum terkesan kumuh dan sampah berserakan di areal lapangan.
Lebih parah lagi, loko-loko yang menjadi koleksi museum menjadi korban tulisan-tulisan orang iseng. Situasi ini berbeda jauh dengan yang pernah penulis lihat saat berkunjung ke Nederlands Spoorweg Museum (Museum Kereta Api Belanda) di kota Utrecht. Disana semuanya terawat baik dan memuaskan hati pengunjung.
Monumen Palagan Ambarawa
Satu lagi tempat yang berkaitan dengan sejarah bangsa di kota ini adalah Monumen Palagan Ambarawa. Lokasinya tidak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa. Didirikan pada tahun 1974, monumen ini dilengkapi dengan sebuah museum yang mengoleksi beberapa senjata yang dipakai saat terjadi kontak fisik antara pasukan Indonesia dengan Belanda. Di areal yang sama juga bisa dilihat dua truk Dodge milik musuh dan tank.
Monumen ini dibangun untuk memperingati pertempuran heroik yang terjadi pada tanggal 15 Desember 1945. Saat itu pasukan Indonesia berhasil menembak jatuh sebuah pesawat musuh dan menenggelamkannya di Rawa Pening. Bangkai pesawat tersebut sampai hari ini masih terbenam disana. Replika pesawat itu bisa dilihat di tempat ini. Karier kemiliteran Jenderal Soedirman dan Gatot Soebroto berawal dari pertempuran Ambarawa. •••
Menengok Sejarah di Benteng Ambarawa
HL | 10 July 2013 | 22:55 Dibaca: 692 Komentar: 11 7
1373492045230388348
Salah satu bagian dari Benteng Wilem I (dok.pribadi)
Keberadaan Benteng menjadi salah satu saksi bisu dari hebat dan panjangnya sejarah yang telah dilalui bangsa ini. Penjajah yang bercokol menguasai tanah air, perang demi perang yang berkecamuk, juga sederet musibah alam turut membentuk negeri ini menjadi seperti saat ini. Seandainya setiap peninggalan dapat berkata-kata, pastilah jutaan cerita akan terkuak menjadi lebih dari sekedar memori. Bagaimanakah nasib salah satu saksi bisu sejarah hebat tersebut ?
Pertengahan bulan Juni menjadi awal bagi saya dan seorang sahabat dekat untuk menjelajah. Kami menjuluki perjalanan ini sebagai perjalanan “Bolang Nyasar”. Bolang yang dimaksud bukanlah Bocah Petualang yang sebagaimana dikenal, tetapi Bocah Ilang yang hobbynya menjelajah tak tentu arah.
13734919941849306266
Benteng Willem I (Benteng Ambarawa) dok.pribadi
Dengan bermodalkan sepeda motor, kami berangkat dari kota Yogyakarta dan bermalam di Temanggung. Perjalanan dilanjutkan dari Temanggung menuju Ambarawa dengan mampir dulu di Candi Gedong Songo. Tiga puluh menit dari Gedong Songo, tibalah kami di Ambarawa. Tanpa bermodalkan pengetahuan mengenai Ambarawa, kami mengendarai motor berkeliling tak tentu arah hingga kemudi motor mengarahkan kami pada sebuah hamparan sawah yang menyita perhatian. Di tengah hamparan sawah tersebut berdiri kokoh bangunan yang tampaknya agak mengerikan tetapi memancing penasaran.
Mata kami terbelalak mengetahui bangunan tersebut adalah benteng dengan gaya kolonial yang begitu kental. Hening dan merinding itulah kesan pertama yang kami rasakan hingga kehadiran seorang turis berkacamata meredakan rasa merinding itu. “Mas, permisi kalau mau parkir motor dimana ya?”, tanya kami yang kebingungan mencari tempat aman untuk parkir. “Lurus saja, ikuti jalan nanti ada parkiran disitu”, jawab turis itu.
13734712361362538319
salah satu bagian benteng yang terbengkalai (dok.pribadi)
Hmm…rasa penasaran kami berubah menjadi degupan jantung yang cukup kencang karena tempat parkir yang dimaksud berada di area Lapas alias penjara. Tapi, ya sudah demi memuaskan rasa penasaran kami untuk menjelajah benteng, kami tinggalkan motor dan berjalan mengitari benteng.
Benteng Ambarawa adalah nama lain dari Benteng Willem I, yang merupakan peninggalan Belanda. Letaknya tidak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa. Saat ini beberapa bagian benteng digunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi digunakan sebagai hunian.
Benteng ini ukurannya sangat luas, bagian utama terdiri dari benteng dengan dua tingkat dan letaknya berhadapan. Di bagian inilah sebagian ruangan benteng dijadikan hunian, tetapi sebagian lainnya dibiarkan terbengkalai. Kesan “menyeramkan” agak memudar tatkala kami melihat kandang-kandang berisi ayam yang dipelihara oleh penghuni.
1373471330628523728
selasar benteng (dok.pribadi)
Berjalan melewati selasar benteng ternyata mengembalikan rasa was-was kami. Selain takut ada bagian benteng yang rapuh, suasana hening dan kuno menyergap seolah membawa kami ke masa penjajahan dahulu. Ruangan yang terbengkalai dibiarkan terbuka, tampak ada yang atapnya sudah bolong, lantainya ditumbuhi semak liar, dan tikus-tikus berseliweran.
Kami terus berjalan mengitari benteng. Di tepi hamparan sawah, ternyata terdapat benteng lainnya yang letaknya terpisah dari bagian benteng utama. Kami harus menyebrangi pematang sawah untuk bisa mencapai benteng tersebut, tetapi langkah kami harus terhenti melihat ada pagar kayu yang membatasi jalan seolah mencegah orang untuk menghampiri benteng itu. Hmm, karena ada rasa takut juga, kami mengurungkan niat mengunjungi benteng terpencil itu.
1373471430223070903
benteng yang terpisah dari benteng utama (dok.pribadi)
Sekitar satu jam kami mengitari benteng hingga ketika kaki mulai lelah, kami beristirahat di depan pintu lapas sambil memperhatikan gerombolan ayam. Mengingat luasnya wilayah benteng ini, mungkin memerlukan biaya mahal untuk perawatannya. Jadi saat ini kondisi benteng cukup memprihatinkan. Kesan ke-eksotisan benteng ini harus berbaur dengan kesan mistisnya membuat keberadaan Benteng Willem I tidak sepopuler dari Museum Kereta Api Ambarawa yang rapi dan terkenal.
Tetapi, janganlah takut untuk berkunjung. Kalau Presiden Soekarno dahulu pernah berkata JAS MERAH, Jangan sekali-kali melupakan sejarah, maka untuk melestarikan sejarah kita perlu berkunjung ke benteng Ambarawa. Suasana dan atmosfer benteng yang campur aduk akan membawa kita menikmati sejarah dengan cara lain, seolah berada langsung dalam sejarah tersebut. Selain itu, benteng ini juga cocok jadi tempat berfoto loh. Tak perlu jauh-jauh ke Eropa, ke Ambarawa pun kita bisa menangkap sedikit atmosfer Eropa, tapi Eropa abad 20 (hehehe).
Mungkin juga dengan tingginya kunjungan wisata, akan mengetuk hati pihak berwenang untuk memugar dan melestarikan benteng Willem I supaya tidak habis dimakan usia dan dilupakan bangsa ini.
Title : Sejarah Ambarawa
Description : Sejarah Ambarawa Barangkali warga Ambarawa sendiri tak banyak yang tahu bahwa Kiai Lembah yang bernama asli Yasir Rahmatullah, putra...
Description : Sejarah Ambarawa Barangkali warga Ambarawa sendiri tak banyak yang tahu bahwa Kiai Lembah yang bernama asli Yasir Rahmatullah, putra...
Jasmerah otw to Ambarawa kota bersejarah milik kita bersama
BalasHapushttp://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/09/09/79961/Cikal-Bakal-Ambarawa-yang-Terlupakan
BalasHapusTulisan aslinya di sini vroooh... :D
BalasHapusDimuat di Suara Merdeka. wkwkwk
http://www.rifanfajrin.com/2011/05/cikal-bakal-ambarawa-yang-terlupakan.html